iwantongeng.blogspot.com

Breaking

Rabu, 07 Januari 2015

SOSIOLINGUSTIK DARI TINJUAN FILSAFAT ILMU





Latar Belakang

Linguistik adalah bidang ilmu yang mengkaji bahasa secara ilmiah. Kajian tentang bahasa sudah dimulai sejak zaman Yunani Kuno dengan mempertanyakan apa itu bahasa dan apa hakikat bahasa. Seiring perkembangan zaman, pada abad 19 sudut pandang kajiannya adalah mengkaji asal bahasa sedangkan mulai abad 20, kajian linguistik muncul sebagai kajian ilmu yang ilmiah dan mandiri dengan tokohnya De Saussure yang memperkenalkan tiga istilah penting yaitu Langue, Parole dan Langage.

Berdasarkan sifat kajiannya, ilmu linguistik meliputi kajian linguistik mikro dan linguistik makro. Linguistik mikro mengarahkan kajiannya pada struktur internal suatu bahasa tertentu atau struktur internal suatu bahasa pada umumnya. Morfologi dan sintaksis dalam peristilahan tata bahasa tradisional biasanya berada dalam satu bidang yaitu gramatika atau tata bahasa. Semantik menyelidiki makna bahasa baik yang bersifat leksikal, gramatikal, maupun kontekstual. Studi linguistik mikro ini sesungguhnya merupakan studi dasar linguistik sebab yang dipelajari adalah struktur internal bahasa itu.

Sedangkan linguistik makro, yang menyelidiki bahasa dalam kaitannya dengan faktor-faktor di luar bahasa.Kajian linguistik makro ini telah berkembang karena fakta bahwa bahasa tidak dapat muncul dengan sendirinya melainkan ada banyak faktor-faktor lain yang memengaruhinya Subdisiplin linguistik makro bisa bersifat teoretis maupun bersifat terapan salah satunya adalah ilmu sosiolinguistik. Ilmu Sosiolinguistik ini merupakan ilmu interdisipliner antara sosiologi dan linguistic yang mengkaji penggunaan bahasa dalam masyarakat khususnya perbedaan-perbedaan variasi yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan kemasyarakatan atau sosial.

Semua kajian disiplin ilmu linguistik baik mikro maupun makro memiliki hakikat ilmu yang membedakan antara satu kajian dengan kajian lainnya. Untuk menemukan sebuah hakikat suatu ilmu, perlu adanya pendekatan. Pendekatan yang dipakai dalam tulisan ini adalah dengan tinjauan filsafat ilmu. kajian filsafat ilmu yang berfokus dalam pencarian hakikat, landasan teori, dan nilai suatu ilmu, yang dalam hal ini adalah ilmu sosiolinguistik. Maka, dari paparan tersebut, makalah ini akan membahas tentang “Ilmu Sosiolinguistik sebagai salah satu cabang ilmu linguistik dari sudut pandang filsafat ilmu”

Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan pendahuluan diatas, ilmu sosiolinguistik yang dikaji dari pandangan filsafat ilmu terdiri dari beberapa rumusan masalah antara lain:
  1. Apa hakikat filsafat ilmu?
  2. Apa hakikat sosiolingistik?
  3. Bagaimana sosiolinguistik berdasarkan tinjauan filsafat?


PEMBAHASAN

A. Hakikat Filsafat Ilmu

Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Sedangkan Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia.[1]

Dalam perkembangannya filsafat ilmu mengarahkan pandangannya pada strategi pengembangan ilmu yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan manusia .[2] Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali secara mendasar tentang hakekat dari ilmu pengetahuan itu bahkan hingga implikasinya ke bidang-bidang kajian lain seperti ilmu-ilmu kealaman.

Filsafat dari sesuatu segi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami hakekat dari sesuatu “ada” yang dijadikan objek sasarannya, sehingga filsafat ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu cabang filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang berusaha untuk memahami apakah hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri.[3]

1. ONTOLOGI ILMU

Ontologi, dalam bahasa Inggris ‘ontology’ berakar dari bahasa Yunani ‘on’ berarti ada, dan ‘ontos’ berarti keberadaan . sedangkan ‘logos’ bearti pemikiran. Jadi, ontologi adalah pemikiran mengenai yang ada dan keberadaannya. Dalam metafisika, pada dasarnya dipersoalkan mengenai substansi atau hakikat alam semesta. Apakah alam semesta ini berhakikat monistik atau pluralistik, bersifat tetap atau berubah-ubah, dan apakah alam semesta ini merupakan kesungguhan atau kemungkinan. [4]

Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindra) yang membuahkan pengetahuan? [5]

Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuan hanya pada daerah-daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek penelaahan yang berada dalam batas pra pengalaman dan pasca pengalaman diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain. Ilmu hanya merupakan salah satu pengetahuan dari sekian banyak pengetahuan yang mencoba menelaah kehidupan dalam batas ontologi tertentu. Penetapan lingkup batas penelaahan keilmuan yang bersifat empiris ini adalah konsisten dengan asas epistimologi keilmuan yang mensyaratkan adanya verifikasi secara empiris dalam proses penemuan dan penyusunan pernyataan yang bersifat benar secara ilmiah.[6]

Dalam kaitannya dengan kaidah moral bahwa dalam menetapkan objek penelaahan, kegiatan keilmuan tidak boleh melakukan upaya yang bersifat mengubah kodrat manusia, merendahkan martabat manusia, dan mencampuri permasalahan kehidupan. Di samping itu, secara ontologi ilmu bersifat netral terhadap nilai-nilai yang bersifat dogmatik dalam menafsirkan hakikat realitas sebab ilmu merupakan upaya manusia untuk mempelajari alam sebagaimana adanya.


2. EPISTIMOLOGI ILMU

Secara etimologis, ‘epistemologi’ berakar dari bahasa Yunani ‘episteme’ yang berarti pengetahuan atau ilmu pengetahuan, dan ‘logos’ yang juga berarti pengetahuan. Jadi, epistemologi berarti pengetahuan mengenai pengetahuan yang sering disebut ‘ teori pengetahuan’. Persoalan sentral epistemologi adalah mengenai persoalan apa yang dapat kita ketahui dan bagaimana cara mengetahuinya.[7]

Landasan epistimologi ilmu tercermin secara operasional dalam metode ilmiah. Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan

Kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun.
Menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran tersebut.
Melakukan verifikasi terhadap hipotesis termaksud untuk menguji kebenaran pernyataannya secara faktual [8]

Kerangka pemikiran yang logis adalah argumentasi yang bersifat rasional dalam mengembangkan penjelasan terhadap fenomena alam.Verifikasi secara empiris berarti evaluasi secara objektif dari suatu pernyataan hipotesis terhadap kenyataan faktual.Verifikasi ini berarti bahwa ilmu terbuka untuk kebenaran lain selain yang terkandung dalam hipotesis.Demikian juga verifikasi faktual membuka diri terhadap kritik terhadap kerangka pemikiran yang mendasari pengajuan hipotesis. Kebenaran ilmiah dengan keterbukaan terhadap kebenaran baru mempunyai sifat pragmatis yang prosesnya secara berulang (siklus) berdasarkan cara berpikir kritis.[9]

Dalam kaitannya dengan moral, dalam proses kegiatan keilmuan setiap upaya ilmiah harus ditujukan untuk menentukan kebenaran, yang dlakukan dengan penuh kejujuran, tanpa mempunyai kepentingan langsung tertentu dan hak hidup yang berdasarkan kekuatan argumentasi secara individual. Jadi, ilmu merupakan sikap hidup untuk mencintai kebenaran dan membenci kebohongan.


3. AKSIOLOGI ILMU

Istilah axiology berasal dari kata axios dan logos. Axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, logos artinya akal, teori. Axiology artinya teori niali, penyelidikan mengenai kodrat, kriteria, dan status metafisik dari nilai. Dalam pemikiran filsafat Yunani, studi mengenai nilai ini mengedepan dalam pemikiran Plato mengenai idea tentang kebaikan, atau yang lebih dikenal dengan Kebaikan tertinggi.[10]

Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah–kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik, prosedural, yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral atau profesional?[11]

Pada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini, ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia, dan kelestarian atau keseimbangan alam.

Untuk kepentingan manusia tersebut pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya. Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi ras, ideologi, atau agama.


4. PENERAPAN ONTOLOGI, EPISTIMOLOGI , DAN AKSIOLOGI ILMU

a. Ontologi

Ontologi memberikan efek pada pikiran manusia yaitu suatu realitas. Realitas (kenyataan) adalah segala sesuatu yang ada. Untuk memudahkan pemahaman manusia, kenyataan dibedakan menjadi dua yaitu kenyataan yang bisa diukur oleh manusia (kenyataan materi) dan yang tidak bisa diukur oleh manusia (kenyataan non materi). Materi adalah kenyataan yang bisa ditangkap oleh indera dan nonmateri adalah kenyataan yang tidak bisa ditangkap oleh indera.

Contoh dari realitas materi adalah kursi, mobil, pesawat, darah, atom dan lain sebagainya. Realitas non-materi mempunyai ciri kebalikan dari materi. Contoh dari realitas nosnmateri adalah akal, jiwa, dan pikiran.

Pentingnya pembahasan ontologis berkaitan dengan pembuktian kebenaran pikiran yang dikandung oleh pikiran. Apakah sebuah pengetahuan sesuai dengan realitas atau tidak. Jika tidak, maka pengetahuan tersebut bernilai salah. Dengan mengetahui hakikat apa yang kita bahas maka kita dapat menghukumi bahasan kita dengan hakikat yang kita ketahui. Jika kita membahas tentang kursi misalnya, maka kita dapat menghukumi kursi dengan hakikat-hakikat kursi itu, misalnya bahwa kursi mempunyai berat, luas, dapat dibagi dan lain sebagainya.


b. Epistimologi

Epistemologi membahas tentang bagaimana seorang manusia mendapatkan pengetahuan. Dalam epistemologi cara mendapatkan pengetahuan ada dua yaitu secara ilmiah dan tidak ilmiah

Pengetahuan secara ilmiah diperoleh melalui dua hal yaitu secara rasional dan empiris. Pengetahuan secara rasional berkaitan dengan cara mendapatkan pengetahuan berdasarkan kaidah-kaidah berpikir. Tetapi pengetahuan secara empiris berkaitan dengan apakah suatu pengetahuan sesuai dengan kenyataan empirik. Semua manusia dapat melakukan kedua hal tersebut karena semua manusia memiliki potensi akal sekaligus potensi inderawi.

Pengetahuan yang didapatkan secara tidak ilmiah dapat terjadi dengan berbagai cara seperti wahyu, intuisi, perasaan dan informasi dari orang yang dipercaya. Pengetahuan yang didapatkan dengan cara ini tidak dapat dipelajari oleh semua orang. Ia membutuhkan kebenaran ilmiah untuk meyakinkan orang-orang yang tidak mengalami hal yang sama dengan orang yang mempercayainya.


c. Aksiologi

Aksiologi membahas tentang nilai suatu pengetahuan. Pengetahuan yang didapatkan manusia tidak dapat dipastikan atau dimutlakkan kebenarannya, maka bagaimana mungkin manusia dapat menyusun sebuah ilmu. Bagaimana pula manusia akan menentukan pilihan jika antara satu pilihan dengan pilihan lain bernilai sama, yaitu relatif.

Pengertian relatif adalah jika sesuatu memiliki nilai yang berubah-ubah jika dibandingkan dengan sesuatu yang berbeda-beda. Misalnya 5 meter akan relative panjang jika dibandingkan dengan 1 meter dan juga relatif pendek jika dibandingkan dengan 10 meter. Ketika manusia berpikir, maka pembanding dari pikiran tidak berubah-ubah yaitu kenyataan itu sendiri. Sehingga suatu pengetahuan hanya akan dihukumi dengan nilai benar atau salah.

Jika suatu pengetahuan sesuai dengan realitasnya maka pengetahuan tersebut benar, begitu juga sebaliknya. Pembandingan kebenaran suatu pengetahuan dengan pengetahuan lain yang berbeda-beda akan bernilai relatif.


B. HAKIKAT SOSIOLINGISTIK

1. Pengertian Sosiolingusitik

Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik. Chaer dan Agustina (2010: 2) menjelaskan bahwa untuk memahami sosiolingusitik perlu dipahami terlebih dahulu sosiologi dan linguistik itu. Sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari manusia di dalam masyarakat, menyangkut di dalamnya mengenai proses interaksi sosial manusia di dalam masyarakat. Sementara itu, linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajarai bahasa. Linguistik mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik merupakan bidang ilmu antardisiplin yang mempelajarai bahasa dalam kaitan penggunaan bahasa tersebut di dalam masyarakat.

Terkait dengan definisi sosiolinguistik, Soemarsono (2012: 1) mendefinisikan sosiolinguistik merupakan kajian tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan. Beberapa pakar (melalui Chaer dan Agustina (2010: 3) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai berikut.


  1. Sosiolinguistik lazim didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan pelbagai variasi bahasa, serta hubungannya di antara para bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat (Kridalaksana, 1978).
  2. Pengkajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan disebut sosiolinguistik (Nababan, 1984).
  3. Sociolinguistics is the study of characteristics of languange varieties, the characteristics of their functions, and the characteristics of their speakers as these three constantly interact, change, ang change one another within a speech comunity (J.A. Fishman, 1972).
  4. Sociolinguistics is developing subfield of linguistics which takes speech variation as it’s focus, viewing variation or it social content. Sociolinguistics is concerned with the corelation between such social factor and linguistics variation (Hickerson, 1980).

2. Objek Kajian Sosiolinguistik

Objek kajian sosiolinguistik, sebagaimana disimpulkan di atas, merupakan bahasa dalam penggunaanya di dalam masyarakat. Chaer dan Agustina (2010:3) menjelaskan bahwa dalam sosiolinguistik bahasa tidak dilihat sebagai bahasa sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum, melaikan dilihat sebagai sarana interaksi sosial di dalam masyarakat. Soemarsono (2012: 8) menjelaskan bahwa sosiolinguistik melihat bahasa sebagai suatu sistem yang berkaitan dengan masyarakat, bahasa dilihat sebagai sistem yang tidak terlepas dari ciri-ciri penutur dan dari nilai-nilai sosiobudaya yang dipatuhi oleh penutur itu. Lebih lanjut, konferensi sosiolinguistik pertama yang berlangsung di University of California, LA, tahun 1964, telah merumuskan adanya tujuh dimensi dalam penelitian sosiolinguistik. Ketujuh dimensi tersebut yaitu (1) identitas sosial penutur, (2) identitas sosial pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, (3) lingkungan tenpat peristiwa tutur terjadi, (4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi dan ragam linguistik, dan (7) penerapan praktis penelitian sosiolingusitk (Dittmar, 1976).


3. Manfaat Sosiolinguistik

Kegunaan sosiolinguistik bagi kehidupan praktis sangat banyak, sebab bahasa merupakan alat komunikasi verbal manusia. Dalam penggunaannya, sosiolinguistik memberi pengetahuan bagaimana menggunakan bahasa di dalam masyarakat. Sosiolinguistik memberikan pengetahuan tentang berbagai variasi bahasa yang ada di masyarakat. Kita sebagai manusia yang hidup di dalam masyarakat, sosiolinguistik memberikan pengetahuan tentang bagaimana kita dapat menempatkan diri dalam penggunaan bahasa kita ketika berada pada masyrakat tertentu. Sosiolinguistik juga meberikan deskripsi variasi bahasa dalam kaitannya dengan pengguna maupun kegunaannya. Selain itu, sosiolingusitik memungkinkan kita mengkaji fenomena dan gejala bahasa yang ada di dalam masyarakt melalui “kaca mata” sosiolinguistik.

Sebagai ilmu yang mengkaji bahasa di dalam masyarakat, sosiolingusitik mampu “mencair” dengan bidang-bidang ilmu yang lain. Hal ini karena bahasa merupakan alat verbal manusia yang ada di berbagai bidang ilmu lain. Sebagai alat komunikasi, tentu bahasa tidak mungkin terlepas dari ilmu-ilmu lain sebagai sarana untuk mengungkapkan hasil pemikiran. Selain itu, objek kajian sosiolinguistik adalah bahasa di dalam masyarakat. Tentu hal tersebut sangat memungkinkan sosiolinguitik untuk saling terkait dengan bidang-bidang ilmu yang lain seperti politik, budaya, ekonomi, dan lain sebagainya.


C. SOSIOLINGUISTIK DALAM TINJAUAN FILSAFAT

Pengkajian terhadap suatu bidang ilmu pengetahuan harus dibangun dari landasan filsafat yang kuat, jelas, terarah, sistematis, berdasarkan norma-norma keilmuan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Filsafat ilmu merupakan kajian yang dilakukan secara mendalam mengenai dasar-dasar ilmu.

Menurut Muhadjir (2011:63) filsafat ilmu dibagi menjadi tiga, yaitu: ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Maka, dalam mengkaji atau membahas persoalan kebenaran ilmu pengetahuan sosiolinguistik yang merupakan salah satu cabang ilmu linguistik harus berlandaskan ketiga aspek kajian filsafat (ontologi, epistemologi, dan aksiologi) tersebut.


1. Ontologi sosiolinguistik

Ontologi membahas tentang hakikat ilmu pengetahuan sosiolinguistik yaitu membicarakan masalah ada (being) secara komprehensif. Apa yang ingin diketahui oleh ilmu sosiolinguistik? atau dengan perkataan lain, apakah yang menjadi bidang telaah ilmu tersebut.

Ontologi sosiolinguistik membahas mengenai hakikat sosiolinguistik sebagai berikut:

a. Pengertian Sosiolinguistik

Sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang mengkaji hubungan antara bahasa dan masyarakat penuturnya. Ilmu ini merupakan kajian kontekstual terhadap variasi penggunaan bahasa masyarakat dalam sebuah komunikasi yang alami. Sosiolinguistik juga menyangkut individu sebab unsur yang sering terlihat melibatkan individu sebagai akibat dari fungsi individu sebagai makhluk sosial. Hal itu merupakan peluang bagi linguistik yang bersifat sosial untuk melibatkan diri dengan pengaruh masyarakat terhadap bahasa dan pengaruh bahasa pada fungsi dan perkembangan masyarakat sebagai akibat timbal-balik dari unsur-unsur sosial dalam aspek-aspek yang berbeda, yaitu sinkronis, diakronis, prospektif — yang dapat terjadi– dan perbandingan. Hal tersebut memungkinkan sosiolinguistik membentuk landasan teoretis cabang-cabang linguistik seperti: linguistik umum, sosiolinguistik bandingan, antarlinguistik dan sosiolinguistik dalam arti sempit (sosiolinguistik yang konkret) (Deseriev, 1977:341-363).

Istilah sosiolinguistik sendiri sudah digunakan oleh Haver C. Curie dalam sebuah artikel yang terbit tahun 1952, judulnya “A Projection of Sociolinguistics: the relationship of speech to social status” yang isinya tentang masalah yang berhubungan dengan ragam bahasa seseorang dengan status sosialnya dalam masyarakat. Kelompok-kelompok yang berbeda profesi atau kedudukannya dalam masyarakat cenderung menggunakan ragam bahasa yang berbeda pula.

Seiring perkembangan ilmunya, beberapa ahli telah merumuskan beberapa pengertian sosiolinguistik, diantaranya:

1. Abdul Chaer (2004:2) berpendapat bahwa intinya sosiologi itu adalah kajian yang objektif mengenai manusia di dalam masyarakat, mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang ada di dalam masyarakat, sedangkan pengertian linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat.

2. Sumarsono (2007:2) mendefinisikan Sosiolinguistik sebagai linguistik institusional yang berkaitan dengan pertautan bahasa dengan orang-orang yang memakai bahasa itu.

3. Rafiek (2005:1) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai studi bahasa dalam pelaksanaannya itu bermaksud/bertujuan untuk mempelajari bagaimana konvensi-konvensi tcntang relasi penggunaan bahasa untuk aspek-aspek lain tcntang perilaku social.

4. Booiji (Rafiek, 2005:2) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai cabang linguistik yang mempelajari faktor-faktor sosial yang berperan dalam pemakaian bahasa dan yang berperan dalam pergaulan.

5. Wijana (2006:7) berpendapat bahwa sosiolinguistik merupakan cabang linguistik yang memandang atau menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakai bahasa itu di dalam masyarakat. Pendapat tersebut pada intinya berpegang pada satu kenyalaan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak lagi sebagai individu, akan tetapi sebagai masyarakat sosial.

6. Fishman. Ia memberikan defini sosiolinguistik sebagai “the study of the characteristics of language varities, the characteristics of their functions, and the characteristics of their speakers as these three constantly interact, change, and change one another within a speech community.”

7. Nababan, mengatakan bahwa sosiolinguistik merupakan pengkajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan.

8. Wikipedia, Sosiolinguistik adalah kajian interdisipliner yang mempelajari pengaruh budaya terhadap cara suatu bahasa digunakan. Dalam hal ini bahasa berhubungan erat dengan masyarakat suatu wilayah sebagai subyek atau pelaku berbahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi antara kelompok yang satu dengan yang lain.

9. Fasold (1993: ix) mengemukakan bahwa inti sosiolinguistik tergantung dari dua kenyataan. Pertama, bahasa bervariasi yang menyangkut pilihan bahasa-bahasa bagi para pemakai bahasa. Kedua, bahasa digunakan sebagai alat untuk menyampaikan informasi dan pikiran-pikiran dari seseorang kepada orang lain.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Sosiolinguistik adalah adalah ilmu yang mempelajari ciri dan berbagai variasi bahasa, serta hubungan di antara para pengguna bahasa dengan fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa.


b. Pokok Bahasan Ilmu Sosiolinguistik

Dalam kajian ilmu sosiolinguistik terdapat beberapa pokok bahasan antara lain (1). Bahasa, Dialek dan Ragam Bahasa, (2). Masyarakat Bahasa, (3). Bilingualisme dan Multilingualisme, (4). Penggunaan bahasa, (5). Perencanaan Bahasa, (6). Bahasa dan Budaya. Penjelasan lebih lanjut diuraikan di bawah ini:

Pertama, Bahasa, Dialek dan Ragam Bahasa. Setiap penutur bahasa akan selalu berbahasa dengan satu aksen. Dengan demikian tidak bisa dikatakan bahwa seorang penutur memilki aksen, sedangkan penutur lain tidak memilki aksen. Aksen dibatasi pada deskripsi aspek-aspek ucapan yang dapat menunujukkan dari mana penutur bahsa berasal, baik secara regional ataupun sosial. (Chaika, 1982:132). Aksen berbeda dengan dialek Dialek mengacu ke semua perbedaan antara variasi bahasa yang satu dengan yang lain mencakup penggunaan tata bahasa, kosakata, maupun aspek-aspek ucapan. Dialog juga dapat dibedakan menurut wilayah (dialek regional), menurut faktor-faktor kemasyarakatan (dilek sosial) dan waktu pemakaian dialek (dialek temporal). (Cahyono, 1995:387)

Kedua, Masyarakat Bahasa. Yang dimaksud dengan masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang merasa menggunakan bahasa yang yang sama (Chaer, 1994:60). Karena titik berat pengertian masyarakat bahasa pada merasa menggunakan bahasa yang sama, maka konsep masyarakat bahasa dapat menjadi luas atau menjadi sempit. Masyarakat bahasa bisa melewati batas propinsi, batas Negara bahkan juga batas benua.

Ketiga, Bilingualisme dan Multilingualisme. Kedwibahasaan (bilingualism) mengacu ke pemakaian bahasa lebih dari satu bahasa oleh seseorang, kelompok atau negara. Di dalam konsep kedwibahassan itu tercakup konsep kemultibahasaan (multilingualism) dalam scala kecil (micro-level) yang menyangkut individu atau kelompok kecil, dan dalam skala besar (macro-level) yang menyangkut masyarakat atau negara. Dalam kedwibahsaan berskala kecil terdapat seseorang yang menguasai dua bahasa (bilingual) atau lebih dari dua bahasa (multilingual). Dalam kedwibahasaan berskala besar terdapat masyarakat atau negara yang memakai satu bahasa atau monoglosia (monoglossic), dua bahasa (diglossic), dan lebih dari dua bahasa atau poliglosia (polyglossic),

Keempat, Penggunaan Bahasa (Etnografi Bahasa). Adanya berbagai macam dialek dan ragam bahasa menimbulkan masalah, bagaimana kita harus menggunakan bahasa itu dalam masyarakat. Seorang pakar sosiolinguistik yang bernama Hmes mengatakan, bahwa suatu komunikasi dengan menggunakan bahasa harus memperhatikan delapn unsure yang diakronimkan menjadi SPEAKING. (Chaer, 1994: 63). Kedelapan hal tersebut adalah: (1) Setting and Scene( berkenaan dengan tempat dan waktu terjadinya percakapan), (2) Participants (orang yang terlibat dalam percakapan), (3) Ends (maksud dan hasil percakapan), (4) Act Sequences (bentuk dan isi percakapan), (5) Key (Cara dan semangat dalam melakukan percakapan), (6) Instrumentalities (Jalur percakapan), (7) Norms (norma prilaku peserta percakapan), dan (8) Genres (ragam bahsa yang digunakan).

Kelima, Perencanaan Bahasa. Pembakuan bahasa merupakan salah satu bentuk kerangka perencanaan bahasa yang bisa dilakukan oleh badan pemerintah yang resmi atau organisasi swasta. Bahasa baku adalah variasi bahasa yang menjadi dasar penulisan media masa dan buku-buku dan merupakan variasi bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah. Bahasa baku memiliki 4 (empat) fungsi, yaitu: 1) fungsi pemersatu, 2) fungsi kekhasan, 3) fungsi pembawa kewibawaan, dan 4) fungsi sebagai kerangka acuan (Bambang, 1994:386)

Keenam, Bahasa dan Kebudayaan. Salah satu pertanyaan kebahasaan yang menarik dan mengundang perhatian ahli bahasa adalah: ”Apakah terdapat hubungan anatara kemampuan penalaran suatu suku bangsa dengan bahasa asli yang dimiliki?”. Dengan kata lain, ”Apakah seorang penutur bahasa dari suku bangsa yang memiliki bahasa tertentu memandang dunia yang sama secara berbeda dengan penutur bahasa dari suku bangsa yang lain?”.


C. Objek sosiolinguistik

Objek sosiolinguistik adalah aspek bahasa yang bersifat hiterogen (la parole), yakni bahasa dalam wujudnya setelah terimplementasi dalam tindak komunikasi. Butir-butir penelitian sosiolinguistik meliputi:

1. Fonem
2. Morfem
3. Kata (leksikon)
4. Frasa
5. Klausa
6. Kalimat
7. Paragraf
8. Wacana
9. Dialog
10. Ideolek
11. Dialek regional
12. Kronolek (dialek waktu)
13. Sosiolek (dialek sosial): 
      a. dialek umur
      b. dialek jenis kelamin
      c. dialek etnik
      d. dialek ideologi
      e. dialek kelas sosial
      f. dialek keterdidikan
14. unda usuk atau tingkat tutur (speech level)
15. ragam: a. formal (akrolek)
                 b. informal (basilek)
                 c. literer (sastra)
16. register
17. bahasa, yakni makna pemakain atau pemilihan bahasa sebagai salah satu kode dalam masayarakat tutur yang multilingual.


2. Epistemologi sosiolinguistik

Epistemologi berupaya mencari kebenaran (truth) berdasarkan fakta. Kebenaran dibangun dengan logika dan didahului oleh uji konfirmasi tentang data yang dihimpun. Epistemologi membicarakan tentang bagaimana ilmu pengetahuan itu diperoleh. Landasan epistemologi tercermin secara operasional dalam metode ilmiah. Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara memperoleh dan menyusun kerangka ilmu pengetahuan.

Metode yang digunakan adalah metode linguistik dan sosiologi. Metode-metode linguistik dipakai untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk bahasa serta unsur-unsurnya dengan notasi tanda-tanda fonetik/fonemik. Metode sosiologi biasa dipakai dalam mengumpulkan data seperti, observasi, kuesioner, dan wawancara. Analisisnya dapat menggunakan metode statistik, yakni untuk mendapatkan pola-pola umun dalam tindak laku berbahasa.

Objek kajian sosiolinguistik dapat diteliti berdasarkan pada tiga langkah, yaitu penyediaan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis. Ada prinsip yang wajib diingat dalam konteks penelitian sosiolinguistik, yaitu bahwa aspek luar bahasa sangat signifikan menjelaskan atau dijelaskan oleh bahasa itu sendiri. Artinya, konsep dasar kajian sosiolinguistik adalah konsep korelasi. Yang dilakukan peneliti di bidang ini adalah mengkorelasikan bahasa dengan aspek sosial (sosial budaya masyarakat). Seorang peneliti dalam bidang sosiolinguistik harus dapat membedakan bahasa sebagaimana adanya (deskriptif) dan bahasa sebagaimana seharusnya (preskriptif atau sering pula disebut normatif). Dalam studi sosiolinguistik jelas bahwa bahasa harus diteliti sebagaimana adanya. Oleh karena itu, bahan atau data linguistik yang diperoleh harus bersifat alamiah (naturally occuring language), tidak boleh dibuat-buat (contrived).

Ada dua metode penyediaan data yaitu metode observasi dan metode wawancara Metode observasi (dalam literatur metodologi penelitian linguistik di Indonesia) disebut metode simak, sedangkan metode wawancara disebut metode cakap (lih. Sudaryanto, 1993). Metode observasi adalah metode penelitian yang dilakukan dengan cara mengamati objek kajian dalam konteksnya. Misalnya, seorang peneliti sedang meneliti pemakaian peribahasa, maka ia harus mengumpulkan peribahasa itu bersama dengan teks-teks lain yang menyertainya, para pemakai peribahasa itu, dan juga unsur-unsur nonverbal lain yang melatarinya, termasuk unsur prakondisi atau aspek sosial dan budaya.

Pemakaian metode observasi dengan bahan teks sebagai acuan disebut penelitian kepustakaan (library research), sedangkan metode observasi dengan bahan teks dengan konteks yang lebih luas disebut penelitian lapangan (field research). Dalam praktik pelaksanaan observasi ini, peneliti bisa melakukan pengamatan dengan cara terlibat langsung, dan bisa pula dengan cara tidak terlibat langsung. Observasi terlibat langsung ini sering dinamai metode observasi partisipasi atau metode observasi berperan serta, sedangkan observasi tidak terlibat langsung dikenal pula sebagai metode observasi nonpartisipasi atau metode observasi tidak berperan serta. Nama-nama metode ini lazim dipakai dalam literatur metodologi penelitian sosiolinguistik (Chaika, 1982: 23) dan ilmu sosial lainnya ( Nasution, 2004: 106-113). Perlu diberi catatan bahwa Sudaryanto (1993: 133-134) menamakan metode observasi partisipasi sebagai teknik simak libat cakap, sedangkan metode observasi nonpartipasi sebagai teknik simak bebas libat cakap. Metode wawancara adalah metode penyediaan data dengan cara tanya jawab antara peneliti dengan informan secara langsung.

Metode analisis dalam kajian sosiolinguistik ini dapat dibagi ke dalam dua jenis, pertama,metode korelasi atau metode pemadanan, yakni metode yang berkaitan dengan pengkorelasian objek bahasa secara eksternal dengan unsur nonbahasa, dan kedua, metode operasi atau metode distribusi, yakni metode yang berkaitan dengan pembedahan, pengolahan, atau pengotak-atikan teks verbal secara internal. Metode korelasi adalah metode analisis yang menjelaskan objek kajian dalam hubungannya dengan konteks situasi atau konteks sosial budaya. Metode operasi atau metode distribusi adalah metode analisis yang menguraikan unsur-unsur substansial objek kajian dan mendistribusikannya dengan unsur-unsur verbal lainnya untuk mendapatkan pola, aturan atau kaidah yang berhubungan dengan konteks situasi dan sosial budayanya.


3. Aksiologi sosiolinguistik

Kebenaran aksiologi adalah kebenaran the right dan membangun kebenaran dalam makna the right or wrong. Landasan ini berkaitan dengan bagaimana pemanfaatan ilmu pengetahuan dalam kehidupan. Pada dasarnya ilmu harus digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan dengan menitikberatkan pada kodrat dan martabat manusia. Untuk kepentingan tersebut, pengetahuan ilmiah yang diperoleh disusun dan dipergunakan secara komunal dan universal.

Membahas persoalan aksiologi sosiolingustik, maka tak lepas dari pembahasan mengenai tujuan Sosiolinguistik secara umum. Tujuan umum sosiolinguistik adalah membahas tentang kaitan pengguna bahasa dan perilaku dalam masyarakat/sosial. Dengan membahas pemakaian bahasa, seseorang akan dapat mengetahui berbagai kondisi, nilai-nilai , kepercayaan, sistem etika, aturan, dan lainnya yang membentuk dan memberikan ciri khusus kepada kelompok-kelompok masyarakat pemakai bahasa itu. Sosiolinguistik mencatat dan menelaah bahasa yang dipergunakan seseorang ketika berbicara dengan teman bicaranya. Selain itu, sosiolinguistik juga menelaah bahasa yang dipergunakan seseorang dengan segala cara penyampaiannya, seperti tanda-tanda berupa kata-kata maupun isyarat yang menyatakan bahwa ia sedang mendengarkan baik-baik, setuju atau tidak setuju.

Dampak dari pembahasan tentang penggunaan bahasa, kita bisa mengetahui hal-hal berikut ini.


  • beragam kondisi pada golongan/kelompok pengguna bahasa itu
  • kepercayaan pada golongan/kelompok pengguna bahasa itu
  • ciri spesial pada golongan/kelompok pengguna bahasa itu
  • aturan pada golongan/kelompok pengguna bahasa itu
  • nilai-nilai yang ada pada golongan/kelompok pengguna bahasa itu
  • etika yang berlaku pada golongan/kelompok pengguna bahasa itu
Sosiolinguistik dapat berhasil sebagai pembelajaran untuk pencatatan dan penelahaan yang digunakan oleh manusia ketia dia berbincang-bincang dengan lawan tuturnya.

Di samping itu, sosiolinguistik pun menjadi penelaah bahasa yang digunakan manusia termasuk cara penyampaiannya.

Sebagai contoh, adanya isyarat/tanda yang memberitahu lawan bicara bahwa seseorang tengah sepakat, tidak sepakat, sedang ingin sendiri, larangan untuk berisik, dan masih banyak lagi.



PENUTUP
A. Simpulan

Dari pembahasan pada bab sebelumnya, maka penulis menarik beberapa kesimpulan, antara lain:

1. Filsafat dari sesuatu segi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami hakekat dari sesuatu “ada” yang dijadikan objek sasarannya, sehingga filsafat ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu cabang filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang berusaha untuk memahami apakah hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri. Hakekat tersebut ditanjau dari segi ontologi, epistimologi, serta aksiologi.

2. Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik. Sosiolinguistik merupakan bidang ilmu antardisiplin yang mempelajarai bahasa dalam kaitan penggunaan bahasa tersebut di dalam masyarakat.

3. Pengkajian terhadap suatu bidang ilmu pengetahuan harus dibangun dari landasan filsafat yang kuat, jelas, terarah, sistematis, berdasarkan norma-norma keilmuan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Filsafat ilmu terhadap sosiolinguistik merupakan kajian yang dilakukan secara mendalam mengenai dasar-dasar ilmu sosiolinguistik ditinjau dari aspek ontologi, epistimologi, serta aksiologi.


B. Saran

Demikianlah pembahasan mengenai sosiolinguistik dalam pandangan filsafat ini. Pembahasan ini jauh dari kesempurnaan karena penulis menyadari adanya keterbatasan ilmu yang dimiliki. Oleh karena itu, penulis menerima kritikan, saran ataupun masukan yang sifatnya membangun demi kesempurnaan penulisan tugas-tugas berikutnya yang hampir serupa dengan ini.



SUMBER

[1] Menurut The Liang Gie (1999)
[2] Koento Wibisono dkk.,(1997)
[3] Menurut Koento Wibisono (1984)
[4] Suparlan Suhartono, Ph.D., Filsafat Ilmu Pengetahuan, Ar ruz, 2005, hlm. 149.
[5] Jujun Suriasumantri, 1985, hlm.34
[6] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984/1985, hlm.88
[7] Suparlan Suhartono, Ph.D., Filsafat Ilmu Pengetahuan, Ar ruz, 2005, hlm 157.
[8] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984/1985, hlm.9
[9] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984/1985, hlm.91
[10] Rizal Mustansyir, Filsafat ilmu, Pustaka Pelajar,2004,hlm. 26
[11] Jujun Suriasumantri, 1985, hlm.34-35
Cahyono, Bambang Yudi. 1995. Kristal-Kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Airlangga University Press.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolingusitik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaika, Elaine. 1982. Language The Social Mirror. Rowley Massachusetts: Newbury House Published.

Fasold, Ralph. 1990. The Sociolinguistics of Language. Oxford: Basil Blackwell.

Holmes, Janet. 2001. An Introduction to Sociolinguistic – 2nd Edition. England: Longman.

http://www.scribd.com/doc/36321509/pengertian-ontologi

Hudson, R. A. 1980. Sociolinguistics. New York: Cambridge University Press.

Kridalaksana, Harimurti. 1985. “Fungsi bahasa dan sikap bahasa”. Flores: Nusa Indah.

Mulyono. 2008. Pengantar Filsafat. Semarang: Fakultas Sastra Undip.

Nababan. 1993. Sosiolinguistik: Satu Pengantar. Jatakarta: PT Gramedia.

Noeng Muhadjir. (2011). Filsafat ilmu: ontologi, epistemologi, aksiologifirst order, secod order& third 
orderof logicsdan mixingparadigms implementasi methodologik. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Noeng Muhadjir. (2011). Filsafat ilmu: ontologi, epistemologi, aksiologifirst order, second order & third order of logics dan mixingparadigms implementasi methodologik. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Pariawan I Wayan. 2008. Sikap Bahasa Dalam Kajian Sosiolinguistik. http://sosiolinguistik. (diakses 10 Oktober 2014).

Soemarsono. 2012. Sosiolingusitik.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Spolsky, Bernard. 1998. Sociolinguistics. Oxford: Oxford University Press.

Stockwell, Peter. 2002. Sociolinguistics – A Resource Book for Students. London and New York: Routledge.

Sudarsono. 2008. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Sumarsono. 2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA

Surajiyo, dkk. 2006. Dasar-dasar Logika. Jakarta: Bumi Aksara.

Trudgill, Peter. 1974. Sociolinguistics: An Introduction. England: Penguin Books.

Wardaugh, Ronald. 1992. An Introduction to Sociolinguistics – 2nd Edition. Oxford and Massachusetts: Blackwell.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tulis komentar anda di sini.

Breaking News
Diberdayakan oleh Blogger.