iwantongeng.blogspot.com

Breaking

Jumat, 09 Januari 2015

PANDANGAN PENGANUT PAHAM STRUKTIRALIS TERHADAP BAHASA

Latar Belakang 

Filsafat bahasa merupakan cabang filsafat khusus yang memiliki objek materi bahasa. Berbeda dengan cabang-cabang serta bidang-bidang filsafat lainnya, filsafat bahasa dalam perkembangannya tidak mempunyai prinsip-prinsip yang jelas dan terdefinisikan dengan baik(Kaelan, 1988). Hal ini disebabkan karena penganut-penganut filsafat bahasa atau tokoh-tokoh filsafat bahasa masing-masing mempunyai perhatian dan caranya sendiri-sendiri, meskipun juga terdapat persamaan di antara mereka, yaitu bahwa mereka menaruh perhatian terhadap bahasa baik sebagai objek materi dalam berfilsafat maupun bahasa itu berfungsi dalam kegiatan filsafat. 

Bahasa sebagai objek materi filsafat sejak abad XX telah mengalami suatu perkembangan baru yaitu berkembang ke arah ilmu bahasa modern. Perkembangan ini diawali dengan munculnya strukturalisme di bidang bahasa yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure, sebagai peletak dasar-dasar lingistik modern. Sebagaimana halnya ilmu-ilmu pengetahuan lainnya bahwa mereka tumbuh dan berkembang dari pemikiran-pemikiran filsafat (Kaelan, 1988). 

Sejak munculnya strukturalisme di bidang bahasa oleh Saussure, bahasa pun bangkit dengan tegar untuk menjadi suatu bidang ilmu tersendiri yaitu linguistik atau ilmu bahasa. Kalangan historian mengakui bahwa munculnya strukturalisme di bidang bahasa sebagai reaksi terhadap ilmu bahasa tradisional yang mendasarkan pada tradisi bahasa Alexandrian yang meletakkan dasar ontologis bahasa pada hakikat makna yang sifatnya non-empiris. 

Gerakan strukturalis muncul seperti gelombang pasang laut di tahun 50-an, dan secara radikal telah mengubah jalan pikir orang terhadap budaya pada saat itu. Meski demikian, pada kenyataannya, para strukturalis telah meletakkan suatu landasan berpikir yang akan berpengaruh semenjak pertengahan pertama abad 20. 

Strukturalisme muncul dari perkembangan yang bermacam-macam dalam berbagai bidang kajian, namun sumber strukturalisme modern adalah linguistik, meskipun, kebanyakan sosiolog dengan struktur sosial. Strukturalisme merupakan usaha untuk menemukan struktur umum yang terdapat dalam aktivitas manusia. 

Rumusan Masalah 
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penulisan ini, yakni bagaimanakah pendapat penganut paham strukturalisme dalam memandang bahasa sebagai kajiannya? 

Tujuan Penulisan 
Tujuan penulisan ini adalah untuk mendeskripsikan pendapat para penganut paham strukturalisme dalam memandang bahasa sebagai kajiannya?




PEMBAHASAN



A. Pengertian dan Latar Historis 


Sampai saat ini definisi tentang strukturalisme masih sulit untuk ditentukan, hal ini disebabkan oleh paling tidak tiga foktor. Pertama, dalam kalangan ilmiah banyak yang memakai istilah struktur atau strukturalisme yang tidak dalam arti yang sama. Kedua, kata Bertens, sangat sulit untuk menentukan identitas seorang strukturalis, seperti kita menentukan Claude Levi Strauss, yang dikenal sebagai bapak strukturalismen Prancis, ia adalah seorang ahli antropologi budaya, bukan seorang filosof. Ketiga, menurut Bertens, dari orang yang digolongkan dalam kelompok strukturalis, hampir tidak ada yang merasa senang dengan sebutan itu. Jika demikian bagai mana caranya memahami strukturalisme itu? 

Kata struktur sendiri bisa diartikan sebagai kaitan-kaitan yang tetap dan teratur antara kelompok-kelompok gejala. Sedangan kata strukturalisme sering diartikan sebagai salah satu gerakan pemikiran atau metodologi sains yang memberikan implikasi ideologi. Yang dimaksud dengan ideologi di sini ialah suatu pandangan dunia yang menilai segala sesuatu atas dasar beberapa prinsip yang diterima begitu saja. 

Pengertian lain menyatakan bahwa strkturalisme adalah suatu cara berfikir yang memandang seluruh realita (al-maujud) sebagai keseluruhan yang terdiri dari struktur-struktur yang saling berkaitan. Dikatakan saling berkaitan artinya, struktur itu adalah suatu tatanan wujud-wujud yang meliputi keutuhan, transformasi, dan pengaturan diri. Keutuhan artinya, bahwa tatanan wujud itu bukan himpunan semata melainkan karena tiap komponen yang tergabung di dalamnya tunduk pada aturan instrinsik dan tidak memiliki otoritas bebas di luar struktur. Transformasi artinya, bahwa struktur itu tidak statis tetapi dinamis, dan bahan-bahan baru terus-menerus diproses oleh dan melalui struktur itu. Pengaturan diri artinya, struktur itu tidak terbuka, ia bersifat tertutup dari sesuatu yang berada di luar. Ia mengatur dirinya sendiri sebab ia tidak pernah meminta bantuan dari luiar untuk melaksanakan prosedur transformational tersebut. 

Dalam sejarah kelahirannya, strukturalisme sering dihubungkan dengan gerakan filsafat Prancis, yaitu suatu gerakan filsafat yang sangat menggungcangkan fenomenologi eksistensialis. Filsafat eksistensial memandang bahwa manusia sebagai titik sentral eksistensi kehidupan. Bagi kaum strukturalis, manusia diilustrasikan sebagai hasil struktur-struktur, tidak digambarkan sebagai pencipta struktur-struktur itu. Artinya bahwa manusia tidak bebas seperti pada eksistensialisme, dan manusia secara individu bukanlah segala-galanya. 

Pada awalnya strukturalisme hanya dikenal sebagai metode linguistik, yaitu pada linguistik Sausurian. Dalam perkembangannya, strukturalisme merambah keberbagai disiplin ilmu pengetahuan. Misalnya oleh penganut formalisme di Rusia, strukturalisme diterapkan dalam bidang ilmu sastra, oleh Noam Chomsky, strukturalisme strukturalisme diterapkan dalam bidang linguistik, oleh Claude Levi-Strauss dioterapkan dalam ilmu antropologi budaya dan M. Foucault dalam sejarah kebudayaan. 



B. 
Saussurian: Bahasa sebagai suatu Sistem 


Dalam buku Course de Linguistiqe General Ferdinad de Saussure menjelaskan sejumlah distingsi (perbedaan-perbedaan) yang diintrodusir yang sangat penting untuk studi bahasa, tetapi dalam perkembangan selanjutnya banyak digunakan dalam berbagai ilmu pengetahuan seperti antropologi, linguistik, sosiologi, psikologi, filsafat dan lain-lain. Sejumlah distingsi itu adalah langage, parole, dan langue, kemudian signifiant dan signifie serta metode diakroni dan singkroni (Hidayat, 2006). 

Ferdinand de Saussure mengajukan suatu perbedaan antara langue (bahasa) dan Parole (ucapan) dalam langage. Kalau langage merujuk kepada suatu fenomena umumdari bahasa, artinya langage memiliki segi individual dan segi sosial, maka langue dan parole merupaka dua aspek yang ada dalam langage itu. Langue merupakan produk masyarakat dari langage dan suatu himpunan konvensi yang perlu, yang diterima oleh seluruh masyarakat untuk memungkinkan berfungsinya langage pada individu. Langue juga merupakan suatu benda tertentu di dalam kumpulan heteroklit peristiwa-peristiwa langage. Berbeda halnya dengan parole yang merupakan objek yang dapat diteliti secara terpisah. Parole adalah realisasi individual atas sistem dalam contoh-contoh bahasa yang nyata. Dengan kata lain, parole adalah suatu aktivitas individual dari kemauan dan kecerdasan. Aktivitas ini perlu dibedakan: 1) kombinasi-kombinasi kode bahasa yang dipergunakan penutur untuk mengungkapkan gagasan pribadinya; 2) mekanisme psikis-fisik yang memungkinkan dia mengungkapkan kombinasi-kombinasi tersebut. 

Ferdinand de Saussure menolak gagasan yang menyatakan bahwa bahasa adalah sebuah tumpukan kata yang secara berangsur terkumpul sepanjang masa dan fungsi utamanya adalah untuk menerangkan benda-benda di dunia atau realitas dunia. Dalam pandangannya, kata-kata bukan simbol-simbol yang berhubungan dengan referen, tetapi lebih merupakan “tanda” (signs) yang tersusun dari dua bagian (seperti dua sisi lembar kertas): tanda, baik tertulis maupun yang diucapkan, disebut “penanda” (signifiant, signifier) yaitu yang memberi tanda atau yang memberi arti, aspek bentuk dalam tanda atau lambang. Konsep atau apa yang dipikirkan ketika tanda dibuat disebut petanda (signifie, signified), yaitu sesuatu yang ditandai atau diartikan. 

Unsur-unsur bahasa memerlukan makna bukan sebagai hasil suatu relasi di antara kata-kata dan benda-benda, tetapi hanyalah sebagai bagian dari sistem relasi. Sebagai contoh pada sistem lampu lalu lintas: merah – kuning – hijau. Warna merah berfungsi sebagai penanda dan yang berfungsi sebagai petanda adalah berhenti. Tanda akan bermakna pada suatu sistem, yaitu rangkaian unsur-unsur dalam struktur. Merah = berhenti, hijau = jalan, kuning = untuk persiapa merah atau hijau. Relasi antara penanda dan petanda itu semena-mena, tidak ada ikatan alami di antara merah dan berhenti, juga tidak menjadi masalah jika terasa seolah-olah alami, atau ada dengan sendirinya. (Hidayat, 2006) 

Dari seluruh pandangan Saussure di atas ada dua implikasi penting, yaitu: pertama, relasi antara realitas objektif dan bahasa yang mempresentasikannya tidak dapat diilmiahkan, yang dapat diilmiahkan hanyalah relasi struktural antara penanda dan petanda. Kedua, makna tidak pernah ditentukan oleh agen (pengguna bahasa)seperti dalam Wittgenstein II, makna ditentukan oleh sistem (struktur) bahasa itu sendiri. 

Karena bahasa adalah suatu sistem maka studi linguistik menurut Saussure tidak hanya menggunakan siakronik (historis), tetapi juga harus menggunakan metode syngkronie (syin = bersama, kronie = waktu) atau metode nonhistoris. Jika metode diakronik didasarkan pada perkembangan suatu bahasa tertentu, maka synkronik berpijak pada penyelidikan struktur-struktur bahasa dalam taraf perkembangan tertentu, dan terlepas dari dimensi waktu. 

Berikut ini beberapa simpulan tentang pandangan Ferdinand de Saussure, yaitu: 

  1. Gagasan utama Saussure adalah : bahasa terbentuk dari imej akustik, berupa kata-kata dan suara, yang berkait dengan konsep-konsep, berupa benda atau ide. Dan kaitan antara imej dengan konsep terbentuk dari konvensi belaka. 
  2. Pemaknaan suatu benda-kata bersifat : (1) sewenang-wenang, karena tidak ada orang yang tahu mengapa kata “pohon‟ harus menunjuk pada benda „pohon‟ dan bukan yang lain, (2) mengkontraskan, karena kita mendapatkan makna dengan memilahnya di antara obyek-obyek yang berbeda. Kata-kata ada dalam jejaring yang dibentuk oleh struktur berbagai perbedaan (structure of differences). 
  3. Saussure memilih metode analisis sinkronik, yaitu memetakan bahasa dalam masa kini (berlawanan dengan diakronik, melihat bahasa dalam perubahan sepanjang sejarah). Oleh karena itu, dalam metode sinkronik, Saussure memilah bahasa menjadi dua, yaitu parole (tuturan) dan langue (bahasa). Parole adalah penggunaan bahasa sehari-hari, yang berbeda-beda dan partikular sesuai konteksnya. Langue adalah struktur sistem tanda yang mendasari parole. Perhatian analis hendaknya tertuju lebih pada langue. 
  4. Bahasa itu otonom, dalam dirinya sendiri (sui generis) terdapat sistem-sistem yang menghasilkan pemaknaannya dan telah beroperasi seturut sistem pembedaan. Pokok ini dapat diaplikasikan ke dalam sistem-sistem tanda yang lain, yaitu budaya. 
  5. Semiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki tanda-tanda dan hukum-hukum yang mengaturnya, termasuk otonomi budaya dimana di dalamnya terdapat kondisi kodrati dari tanda. 


C. Levi-Strauss: Bahasa dan Budaya 


Metode synkronik Saussure diterapkan pula oleh Claude Levi-Strauus dalam studi antropologi budaya. Hal ini sangat penting karena Claude Levi-Strauus selalu dianggap tokoh strukturalis Prancis dan peletak dasar strukturalisme. Claude Levi-Strauus berpendapat bahwa analisis kebudayaan (bahkan analisis kehidupan sosial, termasuk seni dan agama) dapat dilaksanakan dengan menggunakan analisis bahasa sebagai model. Bukan hanya itu, menurut Levi-Strauus sifat paling hakiki tetantang aspek-aspek kebudayaan sama dengan sifat-sifat bahasa. 

Seperti juga dalam linguistik, levi Strauss menerapkan metode synkronik dalam upaya mengindentifikasi unsur-unsur (elemen-elemen) yang sekali pandang merupakan kumpulan yang ketidakberaturan itu dan mencari maknanya. Levi Strauss memandang prilaku budaya, upacara, ritus, kekerabatan, hukum perkawinan, cara memasak, bukan sebagai wujud yang intrinsik, yang diperhatikannya ialah hubungan-hubungan konstraktif (istilah linguistik) di antara unsur-unsur yang membetuk struktur masing-masing, sepadan dengan struktur fonologis suatu bahasa. Istilah kekerabatan adalah unsur makna; seperti fonem, istilah kekerabatan itu memperoleh makna hanya bila diintegrasikan ke dalam sistem. 

Menurut Levi Strauss kekerabatan dalam masyarakat primitif analog dengan bahasa, yaitu sebagai sistem komunikasi, karena klen-klen atau famili-famili atau group-group sosial lain, tukar menukar wanita mereka, sama halnya dengan bahasa merupakan pertukaran, komunikasi, dialog, dan lain-lain. Karena bahasa dan kekerabatan bisa dipandang sebagai dua gejala yang dapat disertakan, maka keduanya bisa diselidiki dengan metode yang sama, yaitu metode struktural atau linguistik. (Hidayat, 2006) 

Secara implisit uraian tersebut menyediakan beberapa kesimpulan. Pertama, bahasa dalam pandanan Levi Strauss adalah sama seperti pandangan Saussure, yaitu sebagai suatu sistem yang memiliki keterkaitan satu sama lain dan tidak ada pengaruh dari luar. Kedua, karena bahasa sebagai suatu sistem, maka dalam penyelidikan harus menggunakan dua metode, yaitu synkronik dan diakronik. Ketiga, karena kebudayaan analog dengan bahasa yaitu sebagai sistem tanda, maka sistem itu harus dipelajari secara synkronik dan diakronik, dan yang harus didahulukan adalah synkronik sebelum menyelami masalah-masalah diakronik. Keempat, hukum-hukum linguistik memperlihatkan suatu taraf tidak sadar, dan kebudayaan dapat disamakan dengan bahasa maka dalam sistem kekerabatan pun berlaku aturan semacam itu. 



D. Jacques Lacan: Bahasa Kesadaran dan Ketidaksadaran 


Jacques Lacan menyepakati tentang bahasa Saussure yang menyatakan bahasa sebagai suatu sistem yang terdiri dari relasi-relasi dan terstruktur secara teratur dan tetap. Bahkan ia memandang ketidaksadaran merupakan suatu struktur, tetapi manusia tidak menguasai struktur ini seperti bahasa bersifat semena-mena. Jika dihubungkan pandangan ini dengan ego (unsur aku yang sadar) maka Jacques Lacan “ego” kehilangan artinya. Baginya, manusia seluruhnya ditentukan oleh strktur-struktur yang tidak dikuasai olehnya sendiri.

Bagi Freud hal yang tidak ialah tingkat kesadaran yang tidak berbentuk (amorf) dan terdiri dari isi kesadaran yang direfresikan sehingga tidak bisa menjadi sadar tanpa analisa. Kesadaran dan ketidak sadaran bagi Jacques Lacan berbentuk seperti bahasa. Hal yang tidak sadar tidak harus dicari dalam pemaknaan melaikan dalam bahasa sendiri. Bahasa menurut Jacques Lacan ialah perkataan-perkataan dalam percakapan kalau orang diam saja. 

Selanjutnya menurut Jacques Lacan ketaksadaran ialah bagian dari percakapan transindividual yang hilang dalam disposisi subyek sehingga dia tidak sanggup mempertahankan kontinuitas dari percakapan yang sadar. Sedangkan subjek terbagi kedalam dua yaitu: subjek yang bicara dan subjek gramatikal. Pembagian subjek disebut pengasingan karena subjek yang bicara mendapat suatu identitas, misalnya dengan namanya (nama dari ayah). Jacques Lacan menggabungkan pengasingan itu dengan apa yang disebut Freud sebagai refresi asli. Dan refresi asli itu yang mengkonstitusikan kesadaran yang berhubungan dengan pembagian subjek (subjek yang bicara dan Subjek gramatikal). 

Pembagian terjadi kalau individu tidak lagi memilih hal yang langsung tetapi memilih refresentasi yang simbolis yang tidak langsung. Subjek atau pribadi, kata Jacques Lacan terjadi apabila masuk pada permainan bahasa (Language games). Bahasa adalah mendahului pribadi atau subjek. Karena itu manusia bukan prioritas, bukan hal yang orisinil. Bukan manusia yang membuat bahasa tapi bahasa yang membuat manusia. Subjek terjadi dalam bahasa bukan subjek yang menciptakan bahasa melainkan bahasa menciptakan subjek. (Hidayat, 2006) 


E. Noam Chomsky: Bahasa Gramatikal 

Pada tahun 1957, Chomsky mengenalkan gagasan barunya melalui sebuah buku yang berjudul Syntactic Structure. Gagasan barunya yang tertuang dalam buku itulah yang kemudian oleh para linguist disebut degnan Tata bahasa Generatif Transformasi. Chomsky menjelaskan bahwa dia melakukan penolakan terhadap asumsi utama strukturalisme yang beranggapan bahwa kelayakan kajian kebahasaan ditentukan oleh diskripsi data kebahasaan secara induktif. 

Data kebahasaan secara induktif di sini diartikan oleh penulis sebagai data-data kebahasaan yang sudah paten dan dianggap selesai. Menurut Chomsky (dalam Samsuri, 1988:99) kajian linguistik berkaitan dengan aktivitas mental yang berkaitan dengan probabilitas, bukan berhadapan dengan data kajian tertutup dan selesai, sehingga dapat dianalisis dan didiskripsikan secara pasti. Oleh karena itu, teori linguistic seharusnya dikembangkan dengan bertolak dari cara kerja secara deduktif yang dibangun oleh konstruk hipotetik tertentu. 

Akibat dari konsep dasar tersebut di atas, dalam TGT teori diartikan sebagai seperangkat hipotesis yang memiliki hubungan secara internal antara yang satu dengan yang lainya. Dalam hal ini, hipotesis memiliki 2 ciri utama, (1) berisi pernyataan yang berfungsi untuk memahami sesuatu yang bersifat sementara, (2) merupakan kreasi intelek yang sistematis, teliti, tetapi bersifat tentatif sehingga memungkinkan untuk dikembangkan atau ditolak. Akhirnya Chomsky berkesimpulan bahwa tugas teori linguitik adalah menangkap perangkat kaidah yang terbatas, yang secara tuntas mampu menjelaskan ciri gramatikal dari sejumlah kalimat yang tak terbatas.Jadi dengan adanya TGT ini, kita bisa mengetahui seperangkat kaidah kalimat secara jelas. 


F. Roland Barthes 

Dalam Elements or Semiology, Barthes berargumen tentang pertemuan antara linguistik dan pertanyaan tentang kebudayaan dalam menginformasikan pertanyaan-pertanyaan semiotik. Secara rinci pertemuannya adalah sebagai berikut: 
  1. Langue dan parole. Suatu perbedaan antara sistem abstrak tanda-tanda (langue) dan cara penggunaannya (parole). Dan ini, oleh Barthes, bisa digunakan di semua konteks semiotik dan tidak hanya pada linguistik. Contohnya, dalam sistem makanan, ada langue mengenai yang tabu (sesuatu yang dapat dan tidak dapat dimakan), ritus makan (table manner), dan ada parole-nya menegenai penemuan menu atau yang sudah turun menurun. 
  2. Signifier dan signified. Perbedaan antara sesuatu atau konsep yang direpresentasikan (signified) dan sesuatu yang memproses representasi (signifier). 
  3. Syntagm dan Sistem. Suatu perbedaan antara tanda yang merupakan kaitan dari suatu kejadian (syntagm) dan tanda yang kemudian dapat disubsitusikan (sistem). 
  4. Denotasi and konotasi. Suatu perbedaan antara tanda yang secara literer diartikan dan yang merupakan metalanguage. 
Pemahaman ini membawa ke dalam Mythologies, di mana terdapat kumpulan artikel yang ditulis oleh Barthes tentang kehidupan dan kebudayaan sehari-hari orang prancis. Lewat ilustrasi ini Barthes menjelaskan semiotik-nya. Menurutnya, tanda dalam kebudayaan tidak pernah innocent, melainkan tanda tersebut tertangkap oleh jaringan yang komplek dari reproduksi ideologi. Di sini ia berusaha mengintepretasikan berbagai fenomena dan kemudian mengkaitkannya dengan suatu tema, yaitu karakter dari pemikiran Maxisme, seperti otentisitas, ideologi, dan fetisisme. Beberapa contohnya adalah sebagai berikut: 
  1. Ada model fetisisme terhadap mobil-mobil keren (new citroen) di mana orang-orang lebih memuja barang ini/komoditas ini. 
  2. Ada pernyataan ideologis yang mendukung kolonialisme yaitu pada suatu majalah ada seorang kulit hitam yang dengan bangga hormat pada bendera prancis. 
  3. Ada otentisitas kualitas ketika membedakan wrestling yang merupakan tontonan para perkerja dan tinju yang merupakan tontonan para borjuis. 
Dalam essay yang berjudul “Myth Today,” Barthes berusaha mengkombinasikan studi abstrak dari semiotik (bagaimana tanda berkerja) dengan sesuatu yang lebih sosiologis dan secara konkrit dalam bentuk dan fungsi. Dari sini kita akan dihubungkan dengan skema mitis yang akan menjelaskan bagaimana yang mitis ini berhubungan dengan kepentingan dari masyarakat tertentu, misalnya kapitalis. Mitos merupakan milik dan alat borjuis dalam membenarkan dan menetralkan aturan-aturan sosial yang ada. 

  1. Suntikan (inoculation), merupakan suatu ide bahwa dengan mengetahui beberapa kejahatan kelas dan ketuidaksamaannya yang ada dalam masyarakat, seseorang dapat menghadang dengan suatu kritik terhadap aturan sosial. 
  2. Privasi sejarah meliputi menghadirkan objek-objek namun menanggalkannya dari semua jejak yang berasal dari sumber-sumber sosialnya. Contoh, suatu buku panduan untuk para turis membawa mereka kepada tempat-tempat wisata namun di sana mereka tidak diperkenalkan dengan kondisi dan proses sosial tempat wisata itu terbentuk. 
  3. Indentifikasi mengacu pada suatu proses yang melaluinya kita mengindentifikasi diri dengan yang lainnya dan melihatnya secara benar-benar berbeda. Contoh; jika kita mengidentifikasikan diri dengan tentara kulit hitam yang menghormati bendera kita maka akan ada kebanggan lebih, dalam hal status. 
  4. Tautologi meliputi mendefinisikan sesuatu tanpa menambah kejelasan. Barthes melihat ini sebagai cara untuk tidak lepas dari pertanyaan-pertanyan sulit dan sebagai penolakan pada bahasa. 
  5. Neither-normism meliputi penyeimbangan dua alternatif dan kemudian penolakan atas keduanya (diandaikan seturut status quo). 
  6. Kuantitas kualitas memperhatikan usaha-usaha untuk secara sistematis mengukur dan mengevaluasi realitas estetis atau untuk membuatnya dapat diprediksi dan disetujui dalam determinisme pasar. 
  7. Pernyataan fakta-fakta berurusan dengan penyediaan maxim dunia yang diasimilasikan dari common sense, sehingga mencegah pemikiran kritis. 
Kunci dari Mythologies adalah pengunaan dari pembedaan antara denotasi dan konotasi. Denotasi mengacu pada pengartian literer suatu image. Konotasi mengacu pada pengartian lebih sesuatu yang berada di atas (mitologi). Contoh; cover suatu majalah yang menunjukan orang kulit hitam dengan pakaian tentara dan sedang menghormati benda yang berwarna merah, putih, dan biru dapat diartikan secara denotasi bahwa ini adalah gambar tentara kolonial di prancis yang sedang menghormati bendera. Namun, cover ini juga memiliki arti lebih atau konotasi yaitu, menurut Barthes, Prancis adalah kerajaan besar dan semua negara bawahanya tanpa memandang diskriminasi warna kulit, secara setia melayani negara dibawah benderanya. 

Secara denotasi ditunjukan bahwa bangsa kulit hitam dengan senang dan bangga melayani penjajah atau oppresor. Dari sini Barthes ingin menunjukan bahwa konotasi mitologis berkerja melalui pertimbangan common sense. Dia berpendapat bahwa kita secara otomatis dan instant membaca tanda-tanda masih secara partikular dan belum menerimanya secara menyelurus dalam proses semiotik. Jika demikian hasil yang didapat adalah “mitos itu dialami sebagai suatu perbincangan yang innocent, bukan karena intensinya tersembunyi melainkan karena intensi-intensi ini dianggap biasa. 

Karya dari Roland Barthes dalam Mythologies adalah penting untuk dua alasan utama, yaitu pertama: karya ini membuka alur baru dengan mengkombinasikan semiotik dengan teori kritis. Dalam konteks ini dibutuhkan banyak masukan dari teori kritis neo-marxisme. Kedua: karya ini melegitimasikan studi dari kebudayaan populer dalam lingkaran akademik. Di mana studi lainnya pada masa itu masih mengacu pada kebudayaan secara esoteris. 

Dalam buku S/Z, Barthes mencoba untuk masuk dalam dunia fiksi, yaitu novel. Kadang studi ini dinyatakan sebagai jembatan yang jelas antara strukturalismenya dan poststrukturalismenya. Isi buku ini lebih pada analisa yang detail tentang sesuatu dibalik sebuah cerita. Argumennya adalah kode-kode ini berada pada konvensi literatur yang spesifik dan kebudayaan kita yang mulai berkembang. Kemampuan kita untuk memaknai suatu teks tergantung dari kualitas kita dalam menggerakan kode-kode tersebut sehingga makna dalam teks tersebut menjadi mungkin dalam zaman kita sekarang ini. 

Barthes juga menekankan bahwa tak ada makna yang definitif dalam suatu cerita. Dia manyatakan bahwa sekarang ini adalah masa kebangkitan interpreter dalam membaca teks atau lebih jelasnya “kematian sang pengarang‟. Barthes berargumen demikian karena setiap kali kita membaca sebuah buku pasti tidak akan memberikan makna yang sama ketika yang kedua kalinya. Dalam hal ini seorang pembaca itu sama baiknya dengan seorang penulis. Disinilah muncul kekuatan atau power seorang pembaca seperti yang diungkapkan oleh Barthes bahwa “untuk menginterpretasikan sebuah teks bukanlah untuk memberikannya sebuah makna literer namun sebaliknya adalah untuk mengapresiasikan apa yang ada menurut sang pembaca, dan ini tak terdeterminasikan.” 

Dalam buku The Pleasure of the text, banyak berargumen bahwa tulisan ini masuk dalam bagian “poststruktural” di mana dalam buku ini Barthes mengurangi usaha untuk mengonstruksikan teori yang koheren atau pendekatan sistematis. Pendekatannya adalah aporistik Dalam buku ini ia juga menekankan kegembiraan (pleasure) indrawi dan intelektual yang mungkin datang dari keterikatan dengan teks. Dari sini ia berpendapat bahwa pembaca dapat menafsikan teks berdasarkan kesenangan yang dihasilkan setelah membaca, dan ini hasil tersebut tergantung dari sisi psikologis dan seksualnya. 

Berkembang dari penafsiran seperti ini munculah argumen tentang jouissance, pandangan yang meliputi sensasi dari pelepasan seksual dan kegembiraan yang meluap-luap. Ia kembali memberi tekanan bahwa kesenangan akan teks itu seperti ada rasa tidak dapat dipikul, tidak mungkin, fiktif, dan seperti merasakan momen orgasme. Dari buku Barthes ini ada perkembangan untuk tidak selalu berpikir rasional dengan berlogika pada struturalisme ortodox melainkan ada perkembangan yang melebar dan menyeluruh di bidang intelektual, fisik, dan emosional.

Buku The Pleasure of the text ini dikenal sebagai buku yang mempengaruhi teori-teori cultural studies. Kekritisan dalam buku ini terletak dalam terbentuknya penerimaan pembaca untuk mengangkat teks seturut dengan kesenangan (pleasure). Juga, pandangan Barthes ini sebagai strategi untuk mengupas arus bawah teks. Teks tidak lagi dipahami sebagai yang intelektual semata, analisa secara literer. Pemahaman akan kesenangan akan pembacaan dianggap sebagai perlawanan terhadap ideologi yang dominan.


SIMPULAN

Dari berbagai penjelasan strukturalisme dari berbagai pakar strukturalisme tersebut, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 

1. Kedalaman menjelaskan permukaan. Kepercayaan sentral dari strukturalisme adalah bahwa kehidupan sosial adalah sesuatu yang superfisial. Di baliknya, terdapat mekanisme-mekanisme tersembunyi yang senantiasa diwariskan. 

2. Kedalaman itu terstruktur. Terdapat struktur-struktur yang terdiri dari berbagai elemen yang mengkombinasi, menjadi suatu lapisan kehidupan sosial. 

3. Analis bersifat obyektif. Para strukturalis cenderung untuk menilai dirinya sendiri sebagai terpisah. 

4. Budaya analog dengan bahasa. Strukturalisme dipengaruhi dan dilatarbelakangi oleh penyelidikan-penyelidikan dalam ranah linguistik. Oleh karena itu, mereka meyakini budaya juga sebagai sistem tanda, sebagaimana bahasa dimengerti dari relasi antara bunyi dan kata-kata. Keduanya sama-sama membawa pesan. 

5. Mengatasi humanisme. Pendekatan struktural cenderung untuk meminimalisir peran manusia sebagai subyek dan menekankan peran yang determinatif dari sistem budaya. Selain itu, pemikiran Strauss menandai karakteristik pendirian pendekatan struktural yang bersifat decentering the subject, yaitu memindahkan “manusia yang sadar‟ dari pusat analisis (berbeda jauh dengan rival semasanya, yaitu Sartre). 


DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta. 

Hidayat, Asep Ahmad. 2006. Filsafat Bahasa : Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda. Bandung : Remaja Rosdakarya. 

Kaelan. 1998. Filsafat Bahasa, Masalah dan Perkembangannya. Yogyakarta: Penerbit Paradigma. 

Verhaar, J.W.M. 1985. Pengantar Linguistik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tulis komentar anda di sini.

Breaking News
Diberdayakan oleh Blogger.